MEMBANGUN JATI DIRI BONSAI INDONESIA
Oleh : Alm. H. Ismail Saleh, SH,
(Bapak Penggerak Bonsai Indonesia, Mantan Pelindung PPBI)
(Doc. Ismail Saleh SH ketika memberikan cinderamata kepada saburo kato pada moment ASPAC ke 2 di hongkong.)
PENDAHULUAN
Jati diri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ciri-ciri, gambaran atau keadaan khusus seseorang atau benda, inti, jiwa, semangat, daya gerak dari dalam, spiritualitas. Dengan lain perkataan, jatidiri juga berkaitan dengan masalah kepribadian. Kepribadian tersebut dapat menampilkan keunggulan dan keunikan yang menimbulkan suatu citra dan cita rasa khusus.
Jati diri dapat diekspresikan dalam berbagai wujud, seperti adat-istiadat, cara berpakaian, aneka makanan, kehidupan rumah tangga, cara berfikir, cara bergaul dan berbagai bentuk ungkapan seni yang kesemuanya memiliki ciri-ciri khas suatu masyarakat atau suatu keadaan yang berbeda dengan masyarakat atau keadaan lain bangsa/negara.
Saya berpendapat, bahwa Soegito Sigit (almarhum) sesungguhnya sudah mencoba untuk mengungkapkan keinginan menampilkan karya seni bonsai yang mencerminkan kepribadian Indonesia. Suatu langkah awal pembentukan bonsai berjatidiri Indonesia. Memang ciri dan corak karya bonsai Soegito Sigit adalah sangat unik dan khas, yaitu membentuk bonsai yang menghasilkan akar-akar gantung yang menancap kokoh di tanah dalam sebuah pot. Karya bonsai Soegito Sigit bahkan diakui oleh organisasi bonsai Jepang sebagai Karya Terpilih dan Terbaik yang berciri khas Indonesia.
Kita bersyukur bahwa bangsa Indonesia dikarunia alam yang indah, subur dengan beraneka ragam floranya yang hanya mengenail dua musim saja, yaitu musim panas dan musim hujan. Alam dan lingkungan kita sekitarnya sudah merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Keadaan tersebut merupakan stimulans untuk mengembangkan rasa kepekaan terhadap lingkungan alam sekitarnya dan rasa kepekaan seni untuk diekspresikan dalam bentuk tanaman bonsai yang mencerminkan alam khas Indonesia.
Saya ambil contoh bangsa Jepang yang memadukan kepekaan terhadap alam dan seni. Orang Jepang terbiasa menyebut nama pohon untuk membuat suatu klarifikasi tingkatan masyarakat, seperti “shoo-chiku-bai” yang merupakan singkatan dari cemara-bambu dan plum (matsu, take dan ume).
Pohon cemara melambangkan kegagahan seorang pria yang kokoh. Pohon cemara berkesan dekat dengan alam, dekat dalam kehidupan sehari-hari. Pohon cemara itu sendiri berumur panjang, kuat, daunnya terdiri dari pasangan-pasangan yang melambangkan pasangan suami istri yang diharapkan hidup serasi dalam rumah tangga yang berlangsung lama, sehingga dipercaya bahwa pohon cemara dapat mendatangkan keberuntungan. Jadi ada semacam semangat, jiwa, daya gerak dari dalam, bahkan spiritualitas.
Kondisi alam Indonesia merupakan factor yang mempengaruhi proses pencairan bentuk jatidiri bonsai. Dicari suatu tanaman bonsai yang dapat dianggap memiliki ciri-ciri atau gambaran sebagai bonsai Bonsai Indonesia yang kental ke- Indonesia-nya. Artinya sudah saatnya juga kita berusaha untuk mencari dan menemukan jenis tanaman yang berjatidiri Indonesia. Untuk itu ada beberapa arahan yang dapat dipergunakan sebagai bahan diskusi, yaitu:
- Arahan yang pertama
Kondisi alam di Indonesia yang bergantian antara panas teriknya sinar matahari dengan derasnya curah hujan menyebabkan pepohonan dan jenis tanaman apa saja hidup subur penuh dengan dedaunan yang rimbun. Dapat dikatakan semua pohon di alam Indonesia pada umumnya bermahkota atau bertajuk penuh dengan daun.
Jenis pohon atau tanaman yang mungkin cocok dengan arahan ini antara lain adalah Pohon Beringin. Pada Pohon Beringin terdapat dua ciri yang mempunyai nilai tambah, yaitu daunnya kecil dan pertumbuhan akarnya sangat kuat, baik yang menjalar di atas permukaan tanah secara horizontal maupun yang menggantung dari atas ke bawah secara vertical. Penampilan tersebut menimbulkan kesan kokoh dan dan kekar, tidak kalah kokoh dan kekarnya dengan pohon cemara dari Jepang.
- Arahan yang kedua
Dengan tetap mengacu kepada arahan yang pertama, maka dari sekian banyak gaya bonsai perlu dipikirkan gaya mana yang dapat dipertimbangkan untuk ditampilkan sebagai gaya jatidiri Bonsai Indonesia. Alam Indonesia dilihat dari aspek geomorfologis, terdiri dari pegunungan, perbukitan, lereng, lembah, jurang, dataran rendah dan dataran tinggi dengan aliran sungai nya disertai aneka ragam alam tumbuh-tumbuhan (flora) yang macam-macam bentuknya.
Karena itu yang dapat didiskusikan adalah gaya mana yang dapat dipilih. Apakah gaya air terjun (kengai/cascade) menggambarkan sebuah tanaman yang menjulur ke bawah di lereng gunung, gaya kelompok (yoseue/grouping) yang menimbulkan kesan seakan-akan seperti melihat/ memandang hutan di alam pegunungan atau di tepi danau, gaya akar mencengkram batu (ishitsuki/root over rock), mengingat alam Indonesia di suatu daerah berbatu-batu dan gaya teriup angin (windswept) karena banyaknya hujan disertai angin kencang di kepulauan Indonesia. Tentu tidak semua tanaman dapat memenuhi persyaratan yang cocok dengan arahan kedua ini. Pohon beringin mungkin tidak cocok untuk gaya air terjun atau gaya kelompok, tapi lebih serasi untuk gaya tegak lurus atau gaya akar mencengkeram batu. Sedangkan untuk gaya kelompok mungkin tanaman landepan lebih cocok, karena dapat menimbulkan kesan seperti hutan.
- Arahan yang ketiga
Ada jenis tanaman di Indonesia yang sangat potensial untuk bahan bonsai, namun dalam proses pembentukannya (training) menimbulkan kerepotan bagi si pembentuk bonsai, karena tanaman tersebut berduri antara lain klingkit, landepan, gulamantung, kawista, rukam, pung, pilang dan masih banyak lagi.
Terhadap jenis tanaman tersebut tidak mutlak diperlukan training dengan penggunaan kawat. Bahkan pertumbuhannya secara alamiah kiranya dapat tetap dibiarkan dengan ketentuan tetap memperhatikan dan mempertahankan kriteria dasar bonsai, sehingga proses pembentukannya hanya berupa “trimming” dan “cutting” dan tidak memerlukan “wiring”. Yang penting bonsai yang telah dibentuk itu tetap tampak wajar dan alami, tidak terlalu banyak direkayasa oleh si pembuatnya.
PENUTUP
Keindahan karya seni dalam hal ini karya seni bonsai dipengaruhi oleh tingkat pemahaman dan wawasan si pembuat, sesuai dengan jiwa, cita rasa serta kepribadian pembentuk bonsai yang bersangkutan. Keindahan tidak memiliki patokan yang eksak, Apa yang indah di negara lain, belum tentu indah di Negara kita, begitu juga sebaliknya.
Sumbangan fikiran ini dimaksudkan sebagai suatu rangsangan dalam rangka proses mencari, menemukan dan membangun jatidiri Bonsai Indonesia. Mungkin kita berhasil tapi mungkin kita gagal. Namun demikian kita sudah berusaha untuk melangkah. Berhasil atau tidaknya tergantung pada kita semua.
(Sumber: Booklet Pameran/ Kontes Tingkat Nasional Bonsai dan Sueseki 2013, PPBI Pusat
Disadur oleh Tedi Priatna Ketua PPBI Cabang Bandung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar